A. Saliva
Di dalam mulut, saliva adalah unsur
penting yang dapat melindungi gigi terhadap pengaruh dari luar, maupun dari
dalam rongga mulut itu sendiri. Makanan yang kita makan dapat menyebabkan ludah
kita bersifat asam maupun basa. Peran lingkungan saliva terhadap proses karies
tergantung dari komposisi, viskositas, dan mikroorganisme pada saliva. Secara
teori saliva dapat mempengaruhi proses terjadinya karies dalam berbagai cara,
antara lain aliran saliva dapat menurunkan akumulasi plak pada permukaan gigi
dan juga menaikkan tingkat pembersihan karbohidrat dari rongga mulut. Selain
itu, difusi komponen saliva seperti kalsium, fosfat, ion OH–, dan
fluor ke dalam plak dapat menurunkan kelarutan email dan meningkatkan
remineralisasi gigi.
B. Komponen Saliva
Saliva mengandung beberapa komponen
untuk melakukan aktivitas antibacterial, yang antara lain adalah lisosim,
system laktoperoksidase-isitiosianat, laktoferin, dan imunoglobulin ludah.
Derajat keasaman pH dan kapasitas buffer saliva ditentukan oleh susunan
kuantitatif dan kualitatif elektrolit di dalam saliva terutama ditentukan oleh
susunan bikarbonat, karena susunan bikarbonat sangat konstan dalam saliva dan
berasal dari kelenjar saliva. Derajat keasaman saliva dalam keadaan normal antara
5,6–7,0 dengan rata-rata pH 6,7. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan pada pH saliva antara lain rata-rata kecepatan aliran saliva,
mikroorganisme rongga mulut, dan kapasitas buffer saliva. Derajat keasaman (pH)
saliva optimum untuk pertumbuhan bakteri 6,5–7,5 dan apabila rongga mulut
pH-nya rendah antara 4,5–5,5 akan memudahkan pertumbuhan kuman asidogenik
seperti Streptococcus mutans dan Lactobacillus.
C. Peran Saliva
Saliva mempunyai peran sebagai
penyangga sehingga naik turunnya derajat keasaman (pH) dapat ditahan, sehingga
proses dekalsifikasi dapat dihambat (Amerongen et al, 1992). Senyawa organik
yang terkandung di dalam saliva yang mempengaruhi pH terutama gugus bikarbonat,
fosfat, asam karbonat, amonia, dan urea.
Kapasitas buffer saliva
terutama ditentukan oleh kandungan bikarbonat, sedangkan fosfat, protein,
ammonia dan urea merupakan tambahan sekunder pada kapasitas buffer (Roth
and Calmes, 1981; Amerongen et al, 1992). Bikarbonat merupakan komponen organik
utama dalam saliva yang berpengaruh terhadap peningkatan pH, menurut Amerongen
(1992) kemampuan buffer saliva ditentukan oleh 85% konsentrasi
bikarbonat, 14% ditentukan oleh konsentrasi fosfat dan 1% oleh protein saliva.
Menurut penelitian poff et al (1997) yang dikutip oleh Setijanto (1999)
menyebutkan bahwa kadar bikarbonat dalam saliva sebesar 206,97 ppm.
Atas dasar uraian diatas dapat
diasumsikan bahwa bikarbonat merupakan komponen utama saliva dalam menetralkan
asam sehingga menghambat proses karies. Bila dilihat dari peran bikarbonat
dalam mempertahankan pH saliva agar tetap normal, kemungkinan ada perbedaan
kadar bikarbonat di dalam saliva penderita karies dan bebas karies.
D. Karies
Karies gigi merupakan proses
multifaktor, yang terjadi melalui interaksi antara gigi dan saliva sebagai
host, bakteri normal di dalam mulut, serta makanan terutama karbohidrat yang
mudah difermentasikan menjadi asam melaui proses glikolisis. Bakteri yang
berperan dalam proses glikolisis adalah Streptococcus mutans dan Lactobacillus
acidophilus, sedangkan asam organik yang terbentuk antara lain asam piruvat
dan asam laktat yang dapat menurunkan pH saliva, pH plak dan pH cairan sekitar
gigi sehingga terjadi demineralisasi gigi (Kidd and Bechal, 1992).
Bakteri plak akan
memfermentasikan karbohidrat (misalnya sukrosa) dan menghasilkan asam, sehingga
menyebabkan pH plak akan turun dalam waktu 1–3 menit sampai pH 4,5–-5,0. Kemudian
pH akan kembali normal pada pH sekitar 7 dalam 30–60 menit, dan jika penurunan
pH plak ini terjadi secara terus menerus maka akan menyebabkan demineralisasi
pada permukaan gigi. Kondisi asam seperti ini sangat disukai oleh Sterptococcus
mutans dan Lactobacillus sp, yang merupakan mikroorganisme penyebab
utama dalam proses terjadinya karies. Menurut penelitian Streptococcus
mutans berperan dalam permulaan (initition) terjadinya karies gigi,
sedangkan Lactobacillus sp, berperan pada proses perkembangan dan
kelanjutan karies. Pertama kali akan terlihat white spot pada permukaan
enamel kemudian proses ini berjalan secara perlahan sehingga lesi kecil
tersebut berkembang, dan dengan adanya destruksi bahan organik, kerusakan
berlanjut pada dentin disertai kematian odontoblast.
Pada subyek karies gigi, terutama
pada lubang gigi banyak terdapat bakteri yang mampu hidup dalam suasana asam (asidogenik)
dan bakteri yang dapat menghasilkan asam (asidurik), sehingga memiliki
potensi pembentukan asam yang lebih tinggi, dari sisa-sisa makanan yang
terdapat dalam lubang gigi, dan penurunan pH yang lebih yang lebih terlihat
pada intensitas karies yang lebih tinggi (Nolte, 1982; Ariesanti, 2004).
E. Mekanisme Bikarbonat dalam Pencegahan
Karies
Pratiwi dkk. pada tahun 2001
melakukan penelitian dengan mengamati pertumbuhan Streptococcus mutans yang
diambil dari sampel saliva 30 orang responden yang diberi perlakuan sebanyak
dua kali yaitu mengunyah permen yang mangandung sorbitol dan sukrosa. Penelitian
dilakukan dengan menghitung jumlah Colony Forming Units (CFU) Streptococcus
mutans dari sampel saliva responden saat mengunyah permen yang mengandung
sorbitol dan sukrosa, yang dibiakkan pada pada media padat Trypticase Yeast
Extract Sucrose with Bacitracin (TY20SB). Dari hasil penelitian
tersebut diperoleh hasil bahwa CFU Streptococcus mutans pada pemakaian
gula sorbitol sesudah perlakuan terlihat adanya penurunan baik pada minggu
kedua maupun minggu ketiga bila dibandingkan dengan sebelumnya. Hal ini
menunjukkan bahwa sorbitol bukan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
bakteri.
Konsumsi sorbitol yang efektif
adalah di bawah 60 menit dengan jumlah maksimum yang direkomendasikan adalah
150 mg sorbitol per kilogram berat badan setiap harinya. Bila konsumsi
berlebihan akan menyebabkan timbulnya diare. Agar efektivitasnya optimal
sebaiknya permen karet sorbitol dikunyah selama 20 menit saja, jadi pemakaian
sorbitol sebagai bahan pemanis pengganti sukrosa yang bersifat non kariogenik
masih tetap dianjurkan. Oleh karena itu sorbitol paling baik digunakan sebagai pemanis
pada permen karet. Mengkonsumsi 6–7 gram sorbitol dalam bentuk permen karet
setiap harinya mempunyai suatu efek kuratif terhadap permulaan karies. Penggunaan
permen karet dapat berfungsi untuk merangsang sekresi air liur serta
meningkatkan kecepatan sekresi saliva, jadi berguna sebagai pembersih mulut
dari sisa makanan karbohidrat yang mudah difermentasi oleh mikroorganisme
rongga mulut. Juga pembersihan asam yang terbentuk akibat proses glikolisis
karbohidrat oleh mikoorganisme asidogenik, karena kecepatan yang tinggi dari
saliva akan mengalir di atas plak. Selain itu dengan bertambahnya sekresi
saliva akan menyebabkan peningkatan kapasitas buffer saliva sehingga dapat
menetralkan pH plak yang asam, karena bertambahnya ion bikarbonat (HCO3–)
yang berperan dalam kapasitas buffer saliva. Bertambahnya aliran saliva akan
meningkatkan kadar urea, amoniak (NH3), kalsium (Ca2+), fosfat (HPO42+),
natrium (Na+) yang merupakan sumber alkalinitas saliva sehingga
dapat menaikkan pH plak yang turun akibat proses glikolisis karbohidrat. Akibat
pertambahan ion kalsium di dalam saliva, maka proses remineralisasi email akan
meningkat. Hal ini disebabkan sorbitol dapat membentuk senyawa kompleks dengan
kalsium yang terdapat di dalam saliva, dan senyawa yang terbentuk ini lebih
stabil daripada senyawa kompleks kalsium dengan sukrosa atau glukosa, sehingga
proses difusi kalsium ke dalam plak lebih cepat dalam bentuk senyawa kompleks
daripada dalam bentuk ion kalsium. Proses difusi senyawa kompleks kalsium
dengan sorbitol lebih cepat karena senyawa kompleks ini larut dalam air. Stimulasi
saliva oleh permen karet akan menambah jumlah dan konsentrasi ion-ion Ca2+,
PO43–, F–, dan OH– yang merupakan komponen mineral
gigi. Sorbitol mempunyai kelebihan, yaitu tidak mempunyai gugus karbonil dalam
rantainya. Sorbitol kurang reaktif dan tidak menyebabkan pembentukan asam pada
plak gigi. Kesimpulan dari penulisan makalah ini adalah sorbitol bukan
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri dan tidak menurunkan pH
saliva,28 sehingga saliva tetap bertahan atau stabil dalam pH tertentu.
Konsumsi sukrosa sebagai pemanis
makanan sekarang mulai digantikan dan dikurangi penggunaanya. Bahan pengganti
gula harus memenuhi persyaratan yaitu harus mempunyai rasa manis, tidak toksik,
tidak mahal, tidak bisa diragikan oleh bakteri plak gigi, berkalori, di samping
itu juga harus dapat dikerjakan secara industrial. Dari semua persyaratan
tersebut, maka bahan pengganti gula yang baik adalah yang berasal dari golongan
gula alkohol. Sorbitol merupakan bahan pengganti gula dari golongan gula
alkohol yang paling banyak digunakan, terutama di Indonesia. Di Indonesia
sorbitol (C6H14O6) paling banyak digunakan
sebagai pemanis pengganti gula karena bahan dasarnya mudah diperoleh dan
harganya murah. Di Indonesia, sorbitol diproduksi dari tepung umbi tanaman singkong
(Manihot Utillissima Pohl) yang termasuk keluarga Euphoribiaceae.
Selain itu sorbitol juga dapat ditemui pada alga merah Bostrychia scorpiodes
yang mengandung 13,6% sorbitol. Tanaman berri dari spesies Sorbus
Americana mengandung 10% sorbitol. Famili Rosaceae seperti buah pir,
apel, ceri, prune, peach, dan aprikot juga mengandung sorbitol. Sorbitol
juga diproduksi dalam jaringan tubuh manusia yang merupakan hasil katalisasi
dari D-glukosa oleh enzim aldose reductase, yang mengubah
struktur aldehid (CHO) dalam molekul glukosa menjadi alkohol (CH2OH).
Sorbitol dapat digunakan sebagai pengganti sukrosa pada penderita penyakit
diabetes. Nilai kalori makanan yang mengandung sorbitol sama tinggi dengan
gula, tapi rasa manisnya kira-kira hanya 60 persen rasa manis sukrosa. Kerugian
sorbitol adalah bila dipakai dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya diare. Sorbitol merupakan gula yang diabsorbsi sangat sedikit oleh
usus halus, sehingga sorbitol akan langsung masuk ke usus besar dan dapat
menunjang terjadinya diare dan perut kembung. Sorbitol (C6H14O6)
berasal dari golongan gula alkohol. Gula alkohol merupakan hasil reduksi dari glukosa
di mana semua atom oksigen dalam molekul gula alkohol yang sederhana terdapat
dalam bentuk kelompok hidroksil, sinonim dengan polyhidric alcohol (polyols).
Polyols dapat dibagi menjadi dua yaitu polyols asiklik dan polyols
siklik. Sorbitol termasuk dalam kelompok polyols asiklik dengan enam
rantai karbon. Rumus kimia sorbitol dapat dilihat pada gambar 1.
H2C
- OH
CH - OH
OH - C - H
HC - OH
HC - OH
H2C - OH
Gambar 1. Rumus
kimia sorbitol
Sorbitol
baik digunakan sebagai pemanis pengganti sukrosa karena mempunyai keuntungan,
antara lain tidak bersifat kariogenik. Menurut penelitian Edgar dan Geddes
dengan melakukan penelitian pada dua kelompok sampel. Di mana sampel yang
pertama diminta untuk mengunyah permen karet dengan pemanis sukrosa dan kelompok
sampel kedua mengunyah permen karet dengan pemanis sorbitol. Setelah 5 menit
diukur pH saliva dari masing-masing kelompok sampel, ternyata diperoleh hasil bahwa
kelompok pertama pH salivanya turun menjadi 4 sedang kelompok kedua pH-nya
masih sekitar 7. Sorbitol termasuk dalam golongan gula alkohol yang mempunyai
keunikan, yaitu gula alkohol tidak mempunyai gugus karbonil dalam rantainya.
Fakta ini membuat gula alkohol kurang reaktif secara kimiawi daripada gula yang
mempunyai ikatan aldosa dan ketosa sehingga kurang berpartisipasi dalam pembentukan
asam pada plak gigi. Untuk memfermentasi substrat dan menghasilkan asam,
normalnya terdapat keseimbangan secara stoikiometri antara jumlah atom-atom
karbon, oksigen, dan hidrogen.
Gula
alkohol mempunyai dua tambahan atom hidrogen sehingga strukturnya menjadi (CH2O)n.2H.
Sedangkan struktur kimia karbohidrat pada umumnya adalah (CH2O)n. Pada
gambar 2, terlihat bahwa pada rumus kimia
sorbitol, terdapat ujung diol (bagian atas dan bawah rumus kimia sorbitol
ditutup oleh ion OH-). Dengan adanya tambahan dua atom hidrogen dan ujung diol tersebut,
maka sulit bagi enzim glukosiltransferase yang terdapat pada dinding sel Streptococcus
mutans memecah rantai gula alkohol menjadi asam laktat, asam asetat, dan
asam format.
Dalam
tubuh sorbitol dapat dikatalisis oleh enzim sorbitol dehidrogenase untuk
selanjutnya menjadi fruktosa, tapi fruktosa yang dihasilkan oleh sorbitol tidak
dapat melewati siklus asam piruvat. Pada hasil akhirnya sorbitol tidak
memproduksi asam laktat, asam format, dan etanol, sehingga tidak dapat
menyebabkan pH saliva menjadi asam. Menurut penelitian kecepatan dari proses
fermentasi sorbitol amat lambat bila dibandingkan dengan sukrosa dan glukosa,
sehingga asam yang terbentuk dapat dinetralisir oleh kapasitas buffer dari
saliva. Berdasarkan penelitian Houwink,
seperti yang terlihat
pada gambar 2,
sorbitol baru dapat difermentasikan oleh Streptococcus mutans setelah
dikonsumsi lebih dari 60 menit.
Gambar 2. Perubahan pH dalam plak setelah konsumsi
gula (glukosa) dan bahan pengganti gula
(xylitol dan sorbitol).
Pada
penggunaan sorbitol yang efektif, maka sorbitol akan melewati jalur metabolisme
seperti yang tertera di gambar 2. Sorbitol akan diuraikan oleh enzim sorbitol dehidrogenase
bukan oleh enzim glukosiltransferase. Sehingga sorbitol akan melalui jalur
lipogenesis bukan glukolisis. Sorbitol akan dikonversikan menjadi lemak, sehingga
tidak efektif jika menggunakan sorbitol untuk program diet.
Sorbitol (C6H14O6)
Sorbitol Dehidrogenase
Fruktosa
Fruktokinase
Fruktosa 1-P
Aldolase
DHAP plus
Glyceraldehide
Alkohol Dehidrogenase
Gliserol
Lipogenesis